Sabtu, 24 September 2011

~Platyhelminthes~

.BIOLOGI.
Semoga bermanfaat :3
Go!go!LETS GO LOVU LOVU!!!
Hehehehe XD


                                                                    BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu bologi adalah ilmu yang mempelajari segala hal yang berhubungan dengan makhluk hidup dan kehidupan. Yang dibahas dalam ilmu biologi tidak lain adalah yang masih berkaitan dengan makhluk hidup, seperti zat yang membentuk makhluk hidup, zat yang dibutuhkan makhluk hidup, serta berbagai hal mengenai hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Ilmu biologi dirintis oleh Aristoteles yang merupakan ilmuwan berkebangsaan Yunani yang kita sebut juga sebagai bapak perintis biologi.
Ilmu Biologi sangat berpengaruh dan berguna bagi kehidupan manusia. Biologi banyak digunakan untuk berbagai bidang kehidupan seperti pertanian, peternakan, perikanan, kedokteran, dan lain sebagainya.


B.   Permasalahan
*     Bagaimanakah struktur tubuh Platyhelminthes?
*     Bagaimanakah klasifikasi pada filum Platyhelminthes?
*     Bagaimanakah peranan  Platyhelminthes bagi manusia?


C.    Tujuan
*     Untuk mengetahui struktur dan ciri-ciri pada filum Platyhelminthes
*     Untuk mengetahui cara hidup dan habitat pada filum Platyhelminthes
*     Untuk mengetahui  reproduksi pada filum Platyhelminthes
*     Untuk mengetahui klasifikasi pada filum Platyhelminthes
*     Untuk mengetahui peranan pada filum Platyhelminthes bagi manusia




D.   Manfaat
*     Dapat digunakan sebagai salah satu sarana belajar bagi seseorang yang ingin mengetahui lebih jelas mengenai filum Platyhelminthes
*     Dapat mengetahui struktur dan ciri-ciri pada filum Nemathelminthes
*     Dapat mengetahui cara hidup dan habitat pada filum Nemathlminthes
*     Dapat mengetahui klasifikasi Nemathelminthes
*     Dapat mengetahui daur hidup Nemathelminthes dan Reproduksi pada Nemathelminthes
*     Dapat mengetahui peranan Nemathelminthes serta penyakit yang ditimbulkan dari spesies-spesies dalam filum Nemathelmintes bagi manusia.





BAB II
PEMBAHASAN



1.     Ciri-Ciri umum yang dimiliki filum Platyhelminthes
Tubuh pipih dosoventral dan tidak bersegmen. Umumnya, golongan cacing pipih hidup di sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain. Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh Platyhelminthes adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan (panjang 2-3 cm), Bipalium yang hidup di balik lumut lembab (panjang mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.
                                                

2.      Struktur dan fungsi tubuh
Platyhelminthes merupakan cacing yang tergolong triploblastik aselomata karena memiliki 3 lapisan embrional yang terdiri dari ektoderma, endoderma, dan mesoderma. Namun, mesoderma cacing ini tidak mengalami spesialisasi sehingga sel-selnya tetap seragam dan tidak membentuk sel khusus.
                                                       


3.       Sistem pencernaan
Sistem pencernaan cacing pipih disebut sistem gastrovaskuler, dimana peredaran makanan tidak melalui darah tetapi oleh usus. Sistem pencernaan cacing pipih dimulai dari mulut, faring, dan dilanjutkan ke kerongkongan. Di belakang kerongkongan ini terdapat usus yang memiliki cabang ke seluruh tubuh. Dengan demikian, selain mencerna makanan, usus juga mengedarkan makanan ke seluruh tubuh.[3]Selain itu, cacing pipih juga melakukan pembuangan sisa makanan melalui mulut karena tidak memiliki anus. Cacing pipih tidak memiliki sistem transpor karena makanannya diedarkan melalui sistem gastrovaskuler.Sementara itu, gas O2 dan CO2 dikeluarkan dari tubuhnya melalui proses difusi.

4.        Sistem syaraf
Ada beberapa macam sistem syaraf pada cacing pipih:
  • Sistem syaraf tangga tali merupakan sistem syaraf yang paling sederhana. Pada sistem tersebut, pusat susunan saraf yang disebut sebagai ganglion otak terdapat di bagian kepala dan berjumlah sepasang. Dari kedua ganglion otak tersebut keluar tali saraf sisi yang memanjang di bagian kiri dan kanan tubuh yang dihubungkan dengan serabut saraf melintang.
  • Pada cacing pipih yang lebih tinggi tingkatannya, sistem saraf dapat tersusun dari sel saraf (neuron) yang dibedakan menjadi sel saraf sensori (sel pembawa sinyal dari indera ke otak), sel saraf motor (sel pembawa dari otak ke efektor), dan sel asosiasi (perantara).

   5.    Indera
Beberapa jenis cacing pipih memiliki sistem penginderaan berupa oseli, yaitu bintik mata yang mengandung pigmen peka terhadap cahaya. Bintik mata tersebut biasanya berjumlah sepasang dan terdapat di bagian anterior (kepala). Seluruh cacing pipih memiliki indra meraba dan sel kemoresptor di seluruh tubuhnya. Beberapa spesies juga memiliki indra tambahan berupa aurikula (telinga), statosista (pegatur keseimbangan), dan reoreseptor (organ untuk mengetahui arah aliran sungai) Umumnya, cacing pipih memiliki sistem osmoregulasi yang disebut protonefridia. Sistem ini terdiri dari saluran berpembeluh yang berakhir di sel api.[4] Lubang pengeluaran cairan yang dimilikinya disebut protonefridiofor yang berjumlah sepasang atau lebih.Sedangkan, sisa metabolisme tubuhnya dikeluarkan secara difusi melalui dinding sel.

6.     Reproduksi
Cacing pipih dapat bereproduksi secara aseksual dengan membelah diri dan secara seksual dengan perkawinan silang, walaupun hewan ini tergolong hermafrodit.



7.      Habitat dan cara hidup
Platyhelminthes ada yang hidup bebas maupun parasit.Platyhelminthes yang hidup bebas  memakan hewan-hewan dan tumbuhan kecil atau zat organik lainnya seperti sisa organisme.Platyhelminthes parasit hidup pada jaringan atau cairan tubuh inangnya.Habitat Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-tempat yang lembap.Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam tubuh inangnya (endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
                                                      
                                            Hidup parasit                                  Hidup bebas

       8. Klasifikasi
Platyhelminthes dapat dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu Turbellaria (cacing bulu getar), Trematoda (cacing hisap), Monogenea, dan Cestoda (cacing pita.)
a.       Turbellaria (cacing rambut getar)
                 platyhelm_turbellaria_dugesia              
Turbellaria memiliki ukuran tubuh bersilia dengan ukuran 15 – 18 mm.Silia digunakan untuk bergerak.Pergerakan juga dapat menggunakan otot dengan gerakan seperti gelombang.Pada kalas ini akan dibahas mengenai ciri salah satu contoh Turbellaria, yaitu Dugesia.
Bagian anterior tubuh Dugesia berbentuk segitiga dan memiliki sistem indera berupa sepasang bintik mata serta celah yang disebut aurikel.Bintik mata untuk membedakan keadaan gelap dan terang, sedangkan aurikel berfungsi sebagai indera pembau saat Dugesia mencari makanannya.
Permukaan tubuh bagian ventral Dugesia memiliki silia yang berfungsi untuk pergerakan.Pada bagian tengah tubuhnya terdapat mulut.Melalui mulut, faring dapat dijulurkan keluar untuk menangkap mangsa yang selanjutnya dicerna di dalam usus.
Sistem eksresi Dugesia terdiri dari saluran bercabang-cabang yang disebut protonefridia, memanjang dari pori-pori pada permukaan tubuh bagian dorsal sampai ke sel-sel api dalam tubuhnya.Sel-sel api yang berbentuk seperti bola lampu dan memiliki silia di dalamnya.Pergerakan silia berfungsi untuk menggerakkan air dalam sel menyerupai nyala api sehingga sel tersebut dinamakan sel api.Dugesia merupakan hewan hemafrodit, namun reproduksi seksual tidak dapat dilakukan hanya oleh satu individu.Fertilisasi dilakukan secara silang oleh dua individu Dugesia.Zigot yang terbentuk berkembang tanpa melalui proses periode larva.Sedangkan reproduksi aseksual adalah dengan membelah dirinya dan setiap belahan tubuh akan menjadi individu baru yang dikarenakan oleh daya regenerasinya yang sangat tinggi.


b.      Trematoda (cacing isap)
                                           platyhelm_trematoda_clonorchis
                                              platyhelm_trematoda_clonorchis
Trematoda disebut sebagai cacing isap karena cacing ini memiliki alat pengisap.Alat pengisap terdapat pada mulut di bagian anterior tubuhnya.kegunaan alat isap adalah untuk menempel pada tubuh inangnya.Pasa saat menempel cacing ini mengisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh inangnya.Dengan demikian, Trematoda merupakan hewan parasit.
Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah vertebrata.Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula dan permukaan tubuhnya tidak memiliki silia.Salah satu contoh Trematoda adalah cacing hati (Fasciola hepatica).Cacing hati memiliki daur hidup yang kompleks karena melibatkan sedikitnya dua jenis inang, yaitu inang utama dan inang sebagai perantara.Daur hidup cacing hati terdiri dari fase seksual dan aseksual.Fase seksual terjadi saat cacing hati dewasa berada di dalam tubuh inang utama.Fase aseksual dengan membelah diri terjadi saat larva berada di dalam tubuh inang perantara.
Beberapa jenis cacing hati yang dapat menginfeksi manusia antara lain sebagai berikut :
- Opisthorchis sinensis ( Cacing hati cina )
cacing dewasa hidup pada organ hati manusia.Inang perantaranya adalah siput air dan ikan.
- Schistosoma japonicum
Cacing ini hidup di dalam pembuluh darah pad saluran pencernaan manusia.Manusia merupakan inang utamanya, namun hewan juga dapat terinfeksi seperti tikus, anjing, babi, dan sapi.Inang perantaranya adalah siput amphibi Oncomelania hupensis.Cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis dengan ciri demam, anemia, disentri, berat badan turun, dan pembengkakan hati.
- Paragonimus westermani
Cacing ini hidup dalam paru-paru manusia.Inang perantaranya adalah udang air
tawar.
                                     
                                        
                                    







                                   Struktur tubuh Fasciola Hepatica
















                                                     Reproduksi Fasciola Hepatica
                    






Keterangan:
  1. Reproduksi seksual Fasciola hepatica menghasilkan telur pada hati dan kemudian berpindah ke aliran darah ke empedu dan usus, kemudian keluar bersama tinja.
  2. Telur menetas dan tumbuh menjadi mirasidium bersilia di tempat basah.
  3. Mirasidium menginfeksi inang perantara yaitu Lymnaea atau siput air.
  4. Mirasidium berubah menjadi sporokis di dalam tubuh inang perantara (siput air).
  5. Sporokis berkembang secara aseksual menjadi redia.
  6. Redia bermetamorfosis menjadi serkaria. Serkaria ini keluar dari tubuh siput dan menempel paa turmbuhan atau rumput air.
  7. Serkaria membentuk cacing muda atau metaserkaria.
  8. Metaserkaria termakan oleh hewan dan kemudian menjadi cacing dewasa di dalam organ hati.

c.       Cestoda (cacing pita)
                                                                                          taenia_pisiformis  
      


Cestoda juga disebut sebagai cacing pita karena bentuknya pipih panjang seperti pita.Tubuh Cestoda dilapisi kutikula dan terdiri dari bagian anterior yang disebut skoleks, leher (strobilus), dan rangkaian proglotid.Pada skoleks terdapat alat pengisap.Skoleks pada jenis Cestoda tertentu selain memiliki alat pengisap, juga memiliki kait (rostelum) yang berfungsi untuk melekat pada organ tubuh inangnya.Dibelakang skoleks pada bagian leher terbentuk proglotid.
Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium).Tiap proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri.Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh cacing.Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan tinja.
Cestoda bersifat parasit karena menyerap sari makan dari usus halus inangnya.Sari makanan diserap langsung oleh seluruh permukaan tubuhnya karena cacing ini tidak memiliki mulut dan pencernaan (usus).Manusia dapat terinfeksi Cestoda saat memakan daging hewan yang dimasak tidak sempurna.Inang pernatara Cestoda adalah sapi pada Taenia saginata dan babi pada taenia solium.
                                         



              

                                              Reproduksi pada Taenia Solium

Keterangan
·          Proglotid dikeluarkan, berisi ribuan telur.
·          Di dalam telur ada larva (onkosfer) - tertelan babi/sapi
·          Onkosfer tumbuh kait sebanyak 6 (Hexa) membentu Hexacant
·          Hexacant dengan kaitnya keluar menembus dinding usus menuju saluran limfe dan ikut aliran    darah otot sapi/babidi otot ternak tersebut larva bertahan membentuk kista disebut larva Cistiserkus / Cacing gelembungCystycercus di otot / daging itu termakan manusia karena pengolahannya tidak matangCystycercus tumbuh membentuk scolex dalam perjalanan menuju ususdan kemudian Scolex menempel di dinding usus membentuk Proglotid ( ruas ruas ) terbetuklah    cacing pita
·         Cacing pita dewasa yang diusus ini tumbuh terus hingga membentuk pita yang panjang ( bisa 20 m) di usus
·         Cacing Pita yang ada di usus itu menyerap sari makanan secara osmosis meleluia seluruh permukaan proglotidnya sehingga penderita (Taeniasis) tubuhnya kurus



BAB III
PENUTUP
A.    Kesiimpulan


1.      Platyhelminthes memiliki tubuh pipih dosoventral dan tidak bersegmen. Cacing pipih hidup di sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain. Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh Platyhelminthes adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan (panjang 2-3 cm), Bipalium yang hidup di balik lumut lembab (panjang mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.
2.    Pengkalsifikasian pada phylum Platyhelminthes terdiri atas 3 kelas,yaitu : Turbellaria, Trematoda, Cestoda
3.    Semua spesies- spesies yang merupakan bagia dari Platyhelminthes bisa menyebabkan beberapa penyakit yang menyerang manusia yang disebabkan oleh spesies yang hidupnya parasit pada tubuh manusia.

B.    Saran
Dengan mempelajari filum Platyhelminthes, anda dapat mengetahui berbagai bentuk ,cirri-ciri, reproduksi dan lain-lain yang berkenaan dengan filum ini. Oleh karenaaa itu jika ada kekurangan maupun sesuatu  yang sekiranya belum jelas bagi anda dari makalah ini  anda dapat mencarinya di buke atau di situs-situs mengenai ilmu biologi.










taenia_pisiformis







                                                                           Daftar Pustaka

   Phandu , Aditya.2005http://1dunia-biologi-sma.blogspot.com/2010/05/platyhelminthes.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Platyhelminthes







~Periodesasi Perkembangan Budaya Masyarakat Indonesia Pada Zaman Batu~

Hallo all, ogenki desu ka ? :3 hehehehehe………….
Baiklah kali ini sy akan memposting beberapa tugas2 sy sewaktu di kelas 10 dulu,
Semoga bisa membantu kalian semua dan bermanfaat XD

        .GANBATTE!!!.
Maaf ya gambarnya tdk ada habisnya sy sudah coba untuk paste semuanya di sini, tp tdk tahu kenapa gambarnya tidak mau muncul , gomenne T^T



PERIODESASI PERKEMBANGAN BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA PADA ZAMAN BATU

Kebudayaan merupakan hasil cipta,rasa, dan karsa manusia. Kebudayaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Kebudayaan mempunyai karakteristik antara lain: hanya dimiliki manusia, dimengerti melalui belajar,diperoleh,didukung,dan diteruskan oleh mausia sebagai anggota masyarakat. Menurut koentjaraningrat kebudayyan mempunyai tujuh unsure budaya yang bersifat universal yaitu sebagai berikut.
1. sistem religi
2. system kemasyarakatan
3. system pengetahuan
4. system bahasa
5. system kesenian
6. system mata pencaharian
7. system perlengkapan hidup
kebudayaan selalu berkembang karena manusia selalu berusha untuk memperbaiki pola kehidupannya menjadi lebih baik. Untuk mengungkap kebudayaan manusia purba, hanya dapat menggunakan alat-alat yang mereka tinggalkan, karena mereka belum mengenal tulisan.
Hasil budaya manusia purba di bedakan menjadi dua yaitu zaman batu dan zaman logam.


A.  Kebudayaan Zaman Batu

Seperti yang telah disebutkan pada modul sebelumnya bahwa zaman batu berdasarkan hasil temuan alat-alatnya dan dari cara pengerjaannya, maka zaman batu tersebut terbagi menjadi 3 yaitu zaman batu tua atau kebudayaan Palaeolithikum (Palaeo = tua, Lithos = batu), zaman batu madya atau kebudayaan Mesolithikum (Meso = tengah) dan zaman batu muda atau kebudayaan Neolithikum (Neo = baru).




1.   Kebudayaan Palaeolithikum/Batu tua.

Hasil kebudayaan Palaeolithikum banyak ditemukan di daerah Pacitan (Jawa Timur) u dan Ngandong (Jawa Timur). Untuk itu para arkeolog sepakat untuk membedakan temuan benda-benda prasejarah di kedua tempat tersebut yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
Ciri-ciri masyarakat pada zaman batu tua adalah sebagai berikut.
1) Alat-alatnya dari batu yang masih kasar,sederhana,dan belum diupam.
2) Alat-alat digunakan untuk memotong,meramu,dan berburu binatang
3) Berburu dan meramu
4) Food gathering dan nomaden
5) Hidup di gua-gua dan rumah panggung yang dekat dengan sumber air
Kebudayaan paleoliyhikum terbagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut.
ü  Kebudayaan pacitan yang didukung oleh phitecantropu erectus
Kebudayaan ini berupa:

Gambar 1 merupakan peninggalan zaman Palaeolithikum yang ditemukan pertama kali oleh Von Koenigswald tahun 1935 di Pacitan dan diberi nama dengan kapak genggam, karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam.

Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper artinya alat penetak.
Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam.

Pada awal penemuannya semua kapak genggam ditemukan di permukaan bumi, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti berasal dari lapisan mana.


Berdasarkan penelitian yang intensif yang dilakukan sejak awal tahun 1990, dan diperkuat dengan adanya penemuan terbaru tahun 2000 melalui hasil ekskavasi yang dilakukan oleh tim peneliti Indonesia-Perancis diwilayah Pegunungan Seribu/Sewu maka dapat dipastikan bahwa kapak genggam/Chopper dipergunakan oleh manusia jenis
Homo Erectus.
Daerah penemuan kapak perimbas/kapak genggam selain di Punung (Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain yaitu seperti Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan KaliAnda (Sumatera), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi), Sembiran dan Terunyan (Bali).

Untuk lebih memahami lokasi penyebaran kapak perimbas maka buatlah tanda (bujur sangkar) pada gambar peta kepulauan Indonesia berikut ini.


Gambar 2. Peta penyebaran kebudayaan Palaeolithikum.
Setelah Anda membuat tanda penemuan kapak genggam pada gambar peta, maka simaklah uraian kebudayaan Ngandong berikut ini.

ü  Kebudayaan ngadong
Kebudayaan ini pendukungnya adalh homo sapiensdan homo wajakensis. Hasil budaya ngandong antara lain sebagai berikut.

Di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkap ikan. Untuk lebih jelasnya tentang alat-alat ini maka amati gambar 3 berikut ini.

Alat-alat tukang dan tanduk rusa dari Ngandong
Setelah Anda mengamati gambar 3 maka diskusikanlah bersama teman-teman Anda mengapa alat-alat dari tulang yang ditemukan di Ngandong dikelompokkan sebagai kebudayaan Palaeolithikum? Kemukakan alasannya! Jawaban dari hasil diskusi tersebut kumpulkan pada guru bina Anda.
Selain alat-alat dari tulang yang termasuk kebudayaan Ngandong, juga ditemukan alat alat lain berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon. Untuk mengetahui bentuk flakes maka amatilah gambar 4 berikut ini.

Flakes dari Sangiran
Setelah Anda mengamati gambar 4 flakes dari Sangiran maka bandingkanlah dengan gambar Flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya seperti pisau pada masa sekarang. Selain ditemukan di Sangiran flakes ditemukan di daerah-daerah lain seperti Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong (Jawa), Lahat (Sumatera), Batturing (Sumbawa), Cabbenge (Sulawesi), Wangka, Soa, Mangeruda (Flores).



2.   Kebudayaan Mesolithikum


Perkembangan kebudayaan pada jaman ini berlangsung lebih cepat daripada jaman Batu Tua. Hal tersebut disebabkan oleh factor-faktor diantaranya, pendukung kebudayaan jaman ini adalah manusia cerdas (Homo Sapiens). Keadaan alam saat itu sudah tidak seliar dan selabil jaman batu tua. Manusia telah mencapai tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi daripada yang telah dicapai manusia purba pada jaman Paleothikum selama 600.000 tahun. Pada jaman ini alat-alat dari batu sudah mulai digosok meskipun belum halus. Manusia pendukung jaman ini adalah Homo Sapiens khusunya Ras Papua Melanesoid.
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum yang sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.

Hasil kebudayaan masa jaman Mesolithikum antara lain sebagai berikut :
1.      Kapak Sumatra (Pebble) sejenis kapak genggam yang sudah digosok, tetapi belum sampai halus. Kapak ini terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Jenis kapak ini banyak ditemukan pada kyokkenmoddinger di sepanjang pantai Sumatra Timur Laut antara Langsa (Aceh) dengan Medan (Sumatra Utara).


                                                        Pebble/Kapak Sumatera.
2.      Batu pipisan, terdiri atas batu penggiling dengan landasannya. Batu ini digunakan untuk menggiling makanan, menghaluskan cat merah (seperti tampak dari bekas-bekasnya).

3.      Kyokkenmoddinger, sampah dapur (bahasa Denmark), kyoken artinya dapur dan modding yang artinya sampah. Sampah ini berwujud kulit siput dan kerang yang menumpuk yang menumpuk ribuan tahun sehingga membentuk bukit, tingginya kadang-kadang mencapai tujuh meter dan sudah menjadi fosil. Penelitian ini dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels pada tahun 1925, disepanjang pantai Sumatra Timur Laut. Pendukung kebudayaan ini adalah manusia Papua Melanesoid.

4.      Abris Sours Roche adalah tempat tinggal jaman prasejarah yang berwujud gua-gua dan ceruk-ceruk di dalam batu karang untuk berlindung.
                                         





Peta jalur penyebaran kebudayaan Mesolithikum.

3. Kebudayaan Neolithikum.

Hasil kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolithikum ini adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Untuk meningkatkan pemahaman Anda tentang perkembangan kapak tersebut, maka amatilah gambar 8 di bawah ini.
Perkembangan kebudayaan pada jaman batu muda sudah sangat maju daripada jaman-jaman sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya migrasi secara bergelombang penduduk Proto-Melayu dari Yunan, Cina Selatan ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pendatang baru tersebut membawa kebudayaan kapak persegi. Peninggalan kebudayaan jaman Neolithikum hamper di seluruh Kepulauan Nusantara sehingga menurut R Soekmono, kebudayaan Neolithikum inilah yang menjadi dasar kebudayaan Indonesia sekarang.
Pada jaman Neolithikum, peralatan dari batu sudah digosok halus karena mereka sudah mengenal teknik mengasah dan mengumpam. Peralatan yang dihasilkan pada jaman Neolithikum, anatara lain sebagai berikut :
1.      Kapak persegi, pemberian nama kapak persegi ini berasal dari Von Heine Geldern, yaitu kapak yang berbentuk memanjang dengan penampang lintangnya berbentuk persegi panjang atas trapezium. Kapak-kapak persegi ini, terutama ditemukan di Indonesia bagian barat, yaitu Sumatra, Jawa, dan Bali. Di Indonesia bagian Timur ditemukan di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan sedikit di Kalimantan. Berdasarkan penemuan yang ada, dapat disimpulkan bahwa penyebaran kebudayaan kapak persegi dari Asia Daratan ke kepulauan Nusantara melalui jalan Barat, yaitu dari Asia (Yunan, Cina Selatan) ke Asia Tenggara, Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku


Peninggalan zaman Neolithikum
Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium.
Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tAnda kebesaran. Untuk lebih jelasnya bentuk kapak persegi dari chalcedon, maka amatilah gambar 9 berikut ini.

Kapak Chalcedon.
Daerah asal kapak persegi adalah daratan Asia masuk ke Indonesia melalui jalur barat dan daerah penyebarannya di Indonesia adalah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Walaupun kapak persegi berasal dari daratan Asia, tetapi di Indonesia banyak ditemukan pabrik/tempat pembuatan kapak tersebut yaitu di Lahat (Sumatera Selatan), Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan serta lereng selatan gunung Ijen (Jawa Timur). Pada waktu yang hampir bersamaan dengan penyebaran kapak persegi, di Indonesia Timur juga tersebar sejenis kapak yang penampang melintangnya berbentuk lonjong sehingga disebut kapak lonjong.

 
2.      Kapak Lonjong, kapak yang  penampangnya berbentuk lonjong dan bulat telur. Pada ujungnya yang lancip ditempatkan tangkai, kemudian diikat menyiku. Kapak lonjong yang besar disebut Walzenbeil dan yang kecil disebut keinbeil.


Kapak Lonjong.
Dengan adanya gambar kapak lonjong seperti pada gambar 10, bagaimana menurut pendapat Anda bentuk keseluruhan dari kapak lonjong tersebut?
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
3.      Perhiasan, antara lain berwujud gelang, kalung, anting-anting yang bahan bakunya dari batu-batu indah dan kalsedon.
4.      Tembikar, pecahan-pecahan tembikar ditemukan pada lapisan atas kyokkenmoddinger di Sumatera.
5.      Pakaian, hiasan tembikar yang bermotif tenunan membuktikan bahwa masyarakat prasejarah sudah mengenal pakaian.
4. Kebudayaan Megalithikum
Kebudayaan Megalithikum adalah kebudayaan yang utamanya menghasilkan bangunan-bangunan monumental yang terbuat dari batu-batu besar dan masif. Bangunan Megalithikum ini digunakan sebagai sarana penghormatan dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Kebudayaan Megalithikum muncul pada jaman Neolithikum dan berkembang luas pada jaman logam. Penemuan bangunan Megalithikum tersebar hampir di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai sekarangpun masih ditemukan tradisi Megalithikum, seperti terdapat di Pulau Nias, Sumba, Flores, dan Toraja.
Hasil-hasil terpenting dari kebudayaan Megalithikum adalah sebagai berikut :
a)      Menhir, yaitu tiang atau tugu yang terbuat dari batu tunggal dan ditempatkan pada suatu tempat. Menhir berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap arwah nenek moyang, tempat memperingati seseorang (kepala suku) yang telah meninggal, tempat menampung kedatangan roh. Menhir banyak ditemukan di paseman, Sumatera Selatan.

b)      Punden berundak, yaitu bangunan pemujaan yang bertingkat-tingkat (berundak-undak).

c)      Dolmen, yaitu meja batu sebagai tempat sesaji dan sebagai kubur batu.

 

d)      Kubur peti batu, yaitu peti jenazah yang terpendam di dalam tanah berbentuk persegi
            panjang dan sisi-sisinya dibuat dari lempengan-lempengan batu. Kubur peti batu banyak
            ditemukan di kuningan, Jawa Barat.
e)      Sarkofagus atau keranda, yaitu peti jenazah yang berbentuk seperti palung atau lesung,    
tetapi mempunyai tutup.

f)       Waruga adalah peti jenazah kecil yang berbentuk kubus dan ditutup dengan batu lain 
yang berbentuk atap rumah.










B.   Kebudayaan Zaman Logam

Dengan berkembangnya tingkat berpikir manusia, maka manusia tidak hanya menggunakan bahan-bahan dari batu untuk membuat alat-alat kehidupannya, tetapi juga mempergunakan bahan dari logam yaitu perunggu dan besi untuk membuat alat-alat yang diperlukan.
Seperti yang pernah Anda pelajari pada modul 1 kegiatan belajar 3 bahwa dengan adanya migrasi bangsa Deutro Melayu/Melayu muda ke Indonesia maka masyarakat prasejarah Indonesia mengenal logam perunggu dan besi secara bersamaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebudayaan logam yang dikenal di Indonesia berasal dari Dongson, nama kota kuno di Tonkin yang menjadi pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Karena itu kebudayaan perunggu di Indonesia disebut juga dengan Kebudayaan Dongson (Vietnam).
Munculnya kepandaian mempergunakan bahan logam, tentu dikuti dengan kemahiran teknologi yang disebut perundagian, karena logam tidak dapat dipukul-pukul atau dipecah seperti batu untuk mendapatkan alat yang dikehendaki, melainkan harus dilebur terlebih dahulu baru kemudian dicetak.  Disebut sebagai jaman logam karena pada saat itu semua peralatan manusia sebagian besar terbuat dari logam.
Zaman logam dibagi menjadi :
1.  Zaman Tembaga
Zaman tembaga merupakan jaman awal manusia mengenal peralatan  dari logam. Namun jaman ini tidak banyak membawa pengaruh terhadap perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Jaman logam berkembang di luar wilayah Indonesia seperti Semenanjung Malaka, Kamboja, Muangthai, dan Vietnam.

2.Zaman perunggu


Kebudayaan perunggu di asia tenggara merupakan pengaruh dari kebudayaan dongson , yang berkembang di Vietnam , geldern berpendapat bahwa kbudayaan dongson berkembang paling muda sekitar 300 sm pendukung kebudayaan perunggu adalah bangsa deuteuro melayu (melayu muda) yang migrasi ke Indonesia sambil membawa kebudayaan dongson. Keturunannya adalah jawa, bali, bugis, madur, dll. Bahkan ditemukan beberapa bukti bahwa telah terjadi pembaruan antara melayu monggoloide (proto melayu dengan deuteuro melayu) dan papua melaneside
Cirri zaman perunggu adalah pemakian peralatan dari logam yang dikembangkan melalui tehnik bivalve (rangkap) dan a cire perdue (cetak lilin) . namun bukanlah berarti setelah itu peralatan dari batu dan gerabah di tinggalkan karena masih terus dipergunakan bahkan sampai sekarang .
Cirri kehidupan pada zaman perunggu adalah telah terbentuk perkampungan yang teratur dipimpin oleh kepala suku atau ketua adapt , tinggal dalm rumah bertiang yang besar yang bagian bawah nya dijadikan tempat ternak , bertani (berladang dan bersawah) dengan system irigasi sehingga pengairan tidak selalu bergantung kepada hujan .
Telah terdapat pembagian kerja berdasarkan keahlian sehingga munculah kelompok undagi (tukang yang ahli membuat peralatan logam ) . mereka telah menguasai ilmu astronomi (untuk kepentingan pelayaran dan pertanian ) dan membuat perahu bercadik.
Beberapa hasil budaya pada jaman perunggu adalah kapak corong (kapak sepatu ) , candrasa (kapak corong yang salah satu sisinya memanjang) , terdapat candrasa dan kapak corong yang indah dan tidak ada tanda-tanda bekas di gunakan . nekara (seperti dandang tertulungkup) , moko (nekara yang lebih kecil) , terdapat berbagai perhiasan seperti garis lurus , piln-pilin , binatang, rumah, perahu, lukisan orang berburu , tari dan lukisan orang cina (monggol).
Selain itu mereka membuat bejana perunggu (berbentuk seperti periuk yang gepeng) dengan hiasan indah (dalam bentuk garis dan burung merak). Arca perunggu berupa arca (ditemukan di bangkinag – sulsel , bogor-jabar, dan riau ) perhiasan perunggu seperti gelang , kalung , anting, dan cincin.

Teknik pembuatan alat-alat perunggu pada zaman prasejarah terdiri dari 2 cara yaitu:
  1. Teknik a cire perdue atau cetakan lilin, caranya adalah membuat bentuk benda yang dikehendaki dengan lilin, setelah membuat model dari lilin maka ditutup dengan menggunakan tanah, dan dibuat lubang dari atas dan bawah. Setelah itu dibakar, sehingga lilin yang terbungkus dengan tanah akan mencair, dan keluar melalui lubang bagian bawah. Untuk selanjutnya melalui lubang bagian atas dimasukkan cairan perunggu, dan apabila sudah dingin, cetakan tersebut dipecah sehingga keluarlah benda yang dikehendaki.
  2. Teknik bivalve atau setangkap, caranya yaitu menggunakan cetakan yang ditangkupkan dan dapat dibuka, sehingga setelah dingin cetakan tersebut dapat dibuka, maka keluarlah benda yang dikehendaki. Cetakan tersebut terbuat dari batu ataupun kayu.
Untuk selanjutnya hasil terpenting kebudayaan logam/perunggu di Indonesia adalah sebagai berikut
a.
Kapak Corong
Pada dasarnya bentuk bagian tajamnya kapak corong tidak jauh berbeda dengan kapak batu, hanya bagian tangkainya yang berbentuk corong. Corong tersebut dipakai untuk tempat tangkai kayu .
Kapak corong disebut juga kapak sepatu, karena seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan tangkai kayunya disamakan dengan kaki.
Untuk lebih memahami bentuk kapak corong, silahkan Anda amati gambar 11 berikut ini.

Kapak Corong.
Pada dasarnya bentuk kapak corong sangat beragam jenisnya, salah satunya ada yang panjang satu sisinya yang disebut dengan candrosa yang bentuknya sangat indah dan dilengkapi dengan hiasan.

Berbagai bentuk Candrasa
Kalau dilihat dari bentuknya, tentu candrosa tidak berfungsi sebagai alat pertanian/pertukangan tetapi fungsinya diduga sebagai tAnda kebesaran kepala suku dan alat upacara keagamaan. Hal ini karena bentuknya yang indah dan penuh dengan hiasan.
Daerah penyebaran kapak corong di Indonesia adalah Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, pulau Selayar serta Irian dekat Danau Sentani.


b.
Nekara
Nekara dapat juga disebut Genderang Nobat atau Genderang Ketel, karena bentuknya semacam berumbung, yang terbuat dari perunggu yang berpinggang dibagian tengahnya, dan sisi atasnya tertutup. Bagi masyarakat prasejarah, nekara dianggap sesuatu yang suci.
Di daerah asalnya Dongson, pemilikan nekara merupakan simbol status, sehingga apabila pemilikya meninggal, maka dibuatlah nekara tiruan yang kecil yang dipakai sebagai bekal kubur.
Sedangkan di Indonesia nekara hanya dipergunakan waktu upacara-upacara saja antara lain ditabuh untuk memanggil arwah/roh nenek moyang, dipakai sebagai genderang perang dan dipakai sebagai alat memanggil hujan.
Daerah penemuan Nekara di Indonesia antara lain, pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Sumbawa, Pulau Sangean, Pulau Roti dan pulau Kei serta pulau Selayar.
Di antara nekara-nekara yang ditemukan di Indonesia, biasanya beraneka ragam sehingga melalui hiasan-hiasan tersebut dapat diketahui gambaran kehidupan dan kebudayaan yang ada pada masyarakat prasejarah. Pada umunya nekara yang ditemukan di Indonesia ukurannya besar-besar, contoh nekara yang ditemukan di desa Intaran daerah Pejeng Bali, memiliki ketinggian 1,86 meter dengan garis tengahnya 1,60 meter, nekara tersebut dianggap suci, sehingga ditempatkan di Pure Penataran Sasih. Dalam bahasa bali sasih artinya bulan, maka nekara tersebut dinamakan nekara Bulan Pejeng.
Nekara yang ditemukan di pulau Alor selain bentuknya kecil juga ramping, disebut dengan Moko. Fungsi Moko selain sebagai benda pusaka, juga dipergunakan sebagai mas kawin atau jujur.




Nekara & Moko

c.
Arca perunggu
Arca perunggu/patung yang berkembang pada zaman logam memiliki bentuk beranekaragam, ada yang berbentuk manusia, ada juga yang berbentuk binatang.
Pada umumnya arca perunggu bentuknya kecil-kecil dan dilengkapi cincin pada bagian atasnya. Adapun fungsi dari cincin tersebut sebagai alat untuk menggantungkan arca itu sehingga tidak mustahil arca perunggu yang kecil dipergunakan sebagai Liontin/bandul kalung.

Daerah penemuan arca perunggu di Indonesia adalah Bangkinang (Riau), Palembang (Sumsel) dan Limbangan (Bogor).




Arca Perunggu.

d.
Bejana Perunggu
Bejana perunggu di Indonesia ditemukan di tepi Danau Kerinci (Sumatera) dan Madura, yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Kedua bejana yang ditemukan mempunyai hiasan yang serupa dan sangat indah berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang mirip huruf J.

Bejana Perunggu dari Kerinci (Sumatera)

e.
Perhiasan Perunggu
Jenis perhiasan dari perunggu yang ditemukan sangat beragam bentuknya yaitu seperti kalung, gelang tangan dan kaki, bandul kalung dan cincin. Di antara bentuk perhiasan tersebut terdapat cincin yang ukurannya kecil sekali, bahkan lebih kecil dari lingkaran jari anak-anak. Untuk itu para ahli menduga fungsinya sebagai alat tukar (mata uang).
Daerah penemuan perhiasan perunggu di Indonesia adalah Bogor, Malang dan Bali. Untuk mengetahui bentuk perhiasan perunggu tersebut dapat Anda amati gambar 16 berikut ini.

Aneka Ragam Perhiasan dari Perunggu.

Di samping perhiasan perunggu seperti yang Anda lihat pada gambar 16, juga terdapat perhiasan yang lain yang terbuat dari kaca yang disebut manik-manik.